Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Kamis, 31 Maret 2011

KEINDAHAN BERASAL DARI CINTA



 Makin banyak kalian menggunakan cinta dalam kehidupan maka kehidupanmu akan semakin indah.

Jika kalian tidak menggunakannya, kehidupanmu akan menjadi keras dan kasar.

Seseorang yang tidak pernah merasakan cinta bagaikan kayu yang kering.

Ketika cinta datang kepada alam, alam menjadi hijau dan mendapatkan warnanya.

Cinta mengalir melalui bunga, cinta juga mengalir melalui buah.

Ketika cinta mencapai mereka di musim semi mereka mulai berseri.

Jadi ketika mereka mengambil cinta itu, mereka lalu memberi cinta.

Kalian harus memberikan cintamu kepada lingkunganmu.

Segala sesuatu di sekelilingmu mengharapkan cintamu.

Kalian harus menjadi sumber cinta, atau mata air cinta, atau keran cinta atau sungai cinta, atau lautan cinta atau samudra cinta.

MALAIKAT-MALAIKAT AL QUR'AN

Shuhba Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani QS 


A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil Mursaliin Sayyidinaa wa Nabiyyina Muhammadin wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin
 
"Tetapi Allah SWT sendiri yang mengakui Alqur’an yang diturunkan-Nya kepadamu, Allah SWT menurunkannya dengan ilmu-Nya dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi.  Cukuplah Allah SWT yang menjadi saksinya." [4:166] 
Allah SWT telah menciptakan sebuah pohon di dalam surga ketujuh, pada setiap helai daunnya terdapat satu huruf dari Alqur’an Suci.  Setiap helai daun itu adalah sebuah singgasana yang diukir dari batu berharga dan setiap huruf dilambangkan dengan seorang malaikat yang duduk di singgasana tersebut. Setiap malaikat tersebut merupakan kunci bagi samudra pengetahuan yang tak bertepi dan berbeda-beda, tiada awal dan tiada akhir.  Dalam setiap samudra terdapat alam semesta yang lengkap dengan masing-masing ciptaan yang unik.  Si penyelam samudra ini adalah malaikat Jibril AS.  Dialah yang membawa mutiara-mutiara dari samudra tersebut kepada Rasulullah SAW, pada waktu dia muncul di hadapan beliau dan berkata 3 kali, “Bacalah!” Mendengar perintah ini, Rasulullah SAW setiap kali menjawab, “Apa yang harus kubaca?” dan Jibril AS berkata, 
Bacalah: Dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan, Menciptakan manusia dari segumpal darah.  Bacalah: Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan dengan sebuah kalam, Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. [96:1-5] 
Pada saat itu Jibril AS membawakan Rasulullah SAW, dua gumpal tanah dari surga, satu di antaranya dihiasi dengan segala macam batu berharga dari permukaan bumi, dan satunya dengan elemen berharga dari surga.  Dia membuka gumpalan pertama dan memerintahkan Rasulullah SAW untuk duduk di atasnya, dan dia membawakan gumpalan kedua dan menyuruhnya untuk membukanya.  Ketika beliau membukanya, beliau menerima Alqur’an yang suci dengan tinta emas, dan rahasia tentang pohon di surga ketujuh tadi juga diberikan kepadanya.  Siapa pun yang membaca Alqur’an dengan hati yang tulus akan sanggup memasuki samudra pengetahuan dan cahaya ini.  Rasulullah SAW, melihat sebuah keping terbuat dari permata yang langka di bawah singgasana Allah SWT dan sebuah keping lagi dari jamrud.  Di keping pertama tertulis surat al-Fatiha, yang terdiri atas 7 ayat, dan di keping kedua terdapat seluruh Alqur’an.  Beliau bertanya kepada Jibril AS, “Apa balasan bagi orang yang membaca surat al-Fatiha?”  Jibril AS menjawab, “Tujuh pintu neraka akan tertutup baginya, dan ketujuh pintu surga akan terbuka baginya,” Rasulullah SAW berkata lagi, “Apa balasan bagi orang yang membaca seluruh Alqur’an?” Jibril AS menjawab,”Untuk setiap huruf yang dibacanya, Allah SWT akan menciptakan malaikat yang akan menanamkan tanaman baginya di surga.”  Lalu Rasulullah SAW melihat segitiga cahaya yang memancar dari tiga arah, dan beliau menanyakan hal itu.  Jibril AS menjawab, “Salah satu dari mereka adalah cahaya dari ayat Kursi [2:255], kedua dari Surat Ya Siin [surat ke-36], dan yang ketiga adalah Surat al-Ikhlash [surat ke-112].  Rasulullah SAW bertanya, “Apa balasan bagi orang yang membaca Ayat Kursi?”  Jibril AS menjawab,”Allah SWT berfirman, “Ini adalah sifat-sifat-Ku, dan siapa pun yang membacanya, akan melihat-Ku di Hari Pembalasan tanpa hijab.”  Rasulullah SAW kemudian bertanya, ”Apa balasan bagi orang yang membaca Surat Ya Siin?”  Jawabannya berasal dari Allah SWT, "Surat itu terdiri dari delapan puluh ayat, siapa pun yang membacanya, akan mendapat delapan puluh rahmat, 20 malaikat akan membawakan 20 rahmat dalam hidupnya, 20 malaikat lagi akan membawakannya 20 rahmat ketika dia meninggal, 20 rahmat dalam kuburnya, dan 20 rahmat lainnya pada saat Hari Pembalasan.”  Rasulullah SAW bertanya, “Apa balasannya membaca surat al-Ikhlash?”  Jawabannya, “Malaikat akan memberinya minuman dari 4 sungai di surga yang disebutkan dalam Alqur’an, yaitu: sungai berair kristal yang murni, sungai susu, sungai anggur, dan sungai madu. 
Selawat dan salam kepada Rasulullah SAW, keluarga dan para Sahabatnya. 

Rabu, 30 Maret 2011

Amal Akhiratmu, Mana ?

 Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany di Madrasahnya tanggal 20 Sya’ban 545 H.

Dunia, semuanya adalah hikmah, sedangkan amal akhirat adalah Qudrat. Dunia ini dibangun di atas hikmah dan akhirat dibangun di

atas Qudrat. Karena itu jangan abaikan amal di negeri hikmah, dan jangan menganggap enteng QudratNya di negeri Qudrat. Beramallah di negeri hikmah dengan hikmahNya, dan jangan menyerahkan diri pada takdirNya.



Jangan jadikan takdir sebagai bentuk penyerahan dirimu, dan anda beralasan dibalik takdir, lalu anda meninggalkan amaliyah. Penyerahan atas nama takdir hanyalah perbuatan orang-orang malas, karena posisi penyerahan diri pada takdir itu bukan pada soal-soal perintah dan larangan.

Orang beriman tidak tenteram dengan dunia ini dan apa yang ada di dalamnya, bahkan tidak selera dengan bagian-bagian duniawinya. Ia lebih senang jika hatinya menuju kepada Allah azza wa-Jalla. Ia menetap di sana hingga diterimaNya. Ia, lari dari dunia, hingga ia meraih izin untuk masuk kepadaNya. Rahasia batinnya pergi, lalu menuju hatinya, dan hatinya meraih nafsunya yang tenang (muthmainnah) serta fisiknya yang patuh. Pada saat seperti itu, tiba-tiba ia tidak tertambat pada keluarganya, seperti ada sela kehampaan antara dirinya dengan mereka, tak peduli dengan kejahatan makhluk lain, seperti ada halangan antara dirinya dengan mereka, hingga hanya dia sendiri dan Tuhannya Azza wa-Jalla. Seakan-akan  makhluk lain tidak diciptakan, dan seakan hanya dia sendirilah yang diciptakan Allah Azza wa-Jalla. Allah Azza wa-Jalla Sang pelaku dan dirinya  satu-satunya obyek. Ia yang dicari dan Allah Yang Mencari. Seakan Allah Azza wa-Jalla adalah akar dan dia cabang ranting. Ia tidak melihat selain Dia, dan lainnya tidak melihatnya. Ia terbungkus dari makhluk.

“Kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkan kembali…” (Abasa: 22)

Ia hadir untuk mereka demi kebajikan dan memberikan petunjuk kebenaran kepada mereka, dan ia sabar jika disakiti mereka, demi meraih ridho Allah Azza wa-Jalla. Para Sufi itu adalah penjaga hati dan rahasia batin, yang senantiasa teguh bersama Allah azza wa-Jalla, bukan bersama lainNya. Mereka beramal untukNya bukan untuk lainNya.

Tetapi hai munafik, anda tidak pernah meraih informasi kebajikan mereka, tidak mencerap keimanan bahkan tidak meraih kebahagiaan bersama Allah Azza wa-Jalla. Dalam waktu dekat anda mati, dan menyesal setelah mati. Padahal anda telah mendapatkan wacana yang fasih dan keelokan syurgawi, tetapi itu tidak memberi manfaat bagimu. Kefasihan itu buat qalbu, bukan untuk wacana ucapan. Menangislah seribu kali atas dirimu dan yang lain.

Hai orang yang hatinya mati! Wahai orang yang menghindar dari kaum sufi. Wahai orang yang banyak mengatur dan terhijab dari dirimu sendiri, dari makhluk dan dari Tuhanmu Azza wa-Jalla: “Oh Tuhanku, sungguh aku terbungkam, maka bukakanlah ucapanku dariMu, hingga manusia meraih manfaat dari ucapanku, memberikan kesempurnaan pada mereka di hadapanku. Jika tidak, kembalikan diriku dalam kebungkaman.”

Wahai kaumku, aku mengajak kalian pada “kematian merah” yaitu bentuk perlawanan terhadap hawa nafsu, watak naluri, syetan dan dunia, serta keluar dari makhluk, dan meninggalkan selain Allah azza wa-Jalla secara total. Dan berjuanglah kalian dalam situasi kondisi ini, jangan sampai kalian putus harapan, karena Allah Azza wa-Jalla berfirman:

“Setiap hari Dia dalam urusanNya.” (Ar-Rahman 29)



Mohonlah padaNya menurut kadar QudratNya. Mohonlah padanya dari sisi Qudrat, bukan dari sisi hikmah. Mohonlah padaNya dari sisi IlmuNya, bukan dari sisi amalmu dan kemampuanmu. Berdiamlah di hadapanNya di atas telapak kehangusan dari segala hal. Jangan mencoba untuk merekayasa di hadapanNya dan jangan pula  menakar-nakar takdir di hadapanNya, serta jangan mereka-reka ketergantungan padanya. Jangan anda hindari aturanNya dengan memilih aturanmu hingga terhempas pada kebodohan. Siapa yang tidak mengamalkan ilmuNya maka ia bodoh. Namun, bila ia menjaganya dan mengamalkan makna-maknanya, maka  pengetahuan itu akan mengajari anda untuk melaksanakannya tanpa condong pada makhluk. Karena mengamalkan ilmu itu akan mengembalikan dirimu kepada Allah azza wa-Jalla, membuat anda zuhud dengan dunia, dan menajamkan mata batin anda, untuk menjauhkan dirimu dari berhias lahiriyah dan memberi inspirasi untuk menghias batiniyah. Disinilah Tuhanmu Azza wa-Jalla memberikan pelimpahan padamu, karena anda telah menjadi baik di hadapanNya:



“Dan Dia memberikan pelimpahan (wilayah) kepada orang-orang yang shaleh.” (Al-A’raf: 196)

Allah Azza wa-Jalla melimpahkan anugerah pada lahirnya, dan batin mereka mendidik lahirnya melalui Tangan HikmahNya, sedangkan batinnya berada di Tangan IlmuNya. Hingga mereka tidak takut dengan lainNya, tidak pula berharap kepada lainNya, tidak meraih kecuali dariNya, tidak memberi kecuali ia disertai rasa takut jika ada selain Dia, dan ia senantiasa bahagia bersamaNya, bertentraman denganNya.

Saat ini adalah akhir  zaman, begitu banyak perubahan dan pergeseran. Inilah zaman lengang hampa dan zaman kemunafikan. Hai orang munafik, anda adalah budak dunia dan budak makhluk, karena anda penuh pamer dengan mereka, beramal untuk mereka, sedangkan anda lupa pada pandangan Allah Azza wa-Jalla kepadamu. Kelihatannya anda beramal untuk akhirat, sedangkan semuanya bertujuan dunia. Nabi saw, bersabda:

“Bila seseorang berias dengan amal akhirat tetapi ia sendiri tidak berhasrat pada akhirat dan tidak mencari akhirat, maka nama dan nasabnya dilaknat di langit.” (Hr. As-Suyuthy dalam Jam’ul Jawami’).

Aku lebih tahu dibanding kalian hai orang-orang munafik melalui jalan hikmah dan ilmu pengetahuan dariNya, namun aku menutupi kalian dengan Tutupnya Allah Azza wa-Jalla.

Celaka! Anda tidak malu pada tubuhmu, tidak membersihkannya dari maksiat lahiriah dan najis-najisnya. Anda mengaku menyucikan batin dan menyucikan qalbu, tentu tidak benar. Bagaimana rahasia batinmu, anda tidak mendidik diri dengan makhluk lantas anda mengaku beradab dengan Allah Azza wa-Jalla. Sang guru tidak rela padamu, anda tidak beradab dengannya, sedangkan anda menerima perintah-perintahnya, dan anda banyak pamer selama ini.

Tak ada komentar bagimu, melainkan jika anda menegakkan tauhidmu di atas kakinya, dan mengokohkan dirimu di hadapan Allah Azza wa-Jalla, lalu anda keluar dari kulit telurmu, dan anda duduk di pangkuan kelembutan di bawah sayap-sayap kemesraan denganNya, disana anda temukan rasa cinta pada keikhlasan dan menegak air minum musyahadah. Anda tetap disana sampai anda menjadi induk ayam, maka disitulah anda menjadi penjaga bagi anak-anak ayam, memberikan pengaruh positif pada mereka dengan penuh kasih sayang, mengingatkan manusia siang dan malam, agar mereka taat kepada Tuhannya Azza wa-Jalla.(bersambung)

Hakikat Keyakinan



Allah swt. berfirman:
"... dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.,"' (Q.s. Al Baqarah: 4).


Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: "Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah, dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan Allah yang diberikan, janganlah mencaci kepada siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa ditolak darimu oleh kebencian orang yang membenci. Dengan keadilan Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu dalam keraguan dan marah."
(H.r. Thabrani, Ibnu Hibban dan Baihaqi).


Abu Abdullah al Anthaky berkata, "Keyakinan minimal adalah bahwa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa syukur dan takut kepada Allah swt."
Ja'far al-Haddad menuturkan, "Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika aku berada di padang pasir, duduk di dekat sebuah mata air. Aku sudah enambelas hari lamanya tidak makan atau minum.


Ia bertanya kepadaku, 'Mengapa engkau duduk di sini?' Aku menjawab, 'Aku terombang ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang akan menang, agar aku dapat bertindak sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang menang, aku akan terus berjalan.' Ia berkata kepadaku, 'Engkau akan mendapatkan suatu derajat'."


Abu Utsman al-Hiry menjelaskan, "Keyakinan adalah tidak adanya kepedulian terhadap hari esok."


Sahl bin Abdullah menjelaskan, "Keyakinan datang dari tambahan iman dan realisasinya." Dikatakannya pula, "Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq)."


Salah seorang Sufi mengatakan, "Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan pada hati." Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha (muktasab).


Sahl menjelaskan, "Permulaan keyakinan adalah mukasyafah." Karena itu salah seorang kaum salaf mengatakan, "Jika tabir tersingkap, maka hal itu tidaklah akan menambah keyakinanku." Kemudian beralih ke pembuktian dan penyaksian (musyahadah).
Abu Abdullah bin Khafif menegaskan, "Keyakinan adalah Pemastian oleh rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban."


Abu Bakr bin Thahir mengatakan, "Ilmu datang melalui penentangan terhadap, keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama sekali." Dengan demikian ia mempertentangkan ilmu yang di peroleh melalui usaha, dengan apa yang diperoleh melalui ilham.


Jadi pengetahuan seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya bersifat langsung.
Saya mendengar Muhammad ibnul Husain menceritakan, bahwa salah seorang Sufi mengatakan, " Maqam pertama adalah ma'rifat, kemudian keyakinan, lalu pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) adanya Tuhan, lalu taat.


Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah istilah tersebut." Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama yang diperlukan adalah ma'rifat Allah swt, yang tidak dapat diperoleh, kecuali dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul menyusul dan menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan untuk merenungkan bukti bukti; itulah keadaan yakin. Mengenai pembenaran Al-Haq (tashidiqul haq), hal ini berhubungan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya, berkenaan dengan apa yang diinformasikan Nya kepada seseorang mengenai Af'al-Nya pada tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah itu, pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanaan tindak tanduk kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus menghindari yang terlarang dalam tauhid.
Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan, "Dzikir dengan lisan adalah luapan yang melimpah dari kalbu."


Sahl bin Abdullah berkomentar, 'Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Allah swt."


Dzun Nuun al-Mishry berkata, " Keyakinan menyeru orang untuk membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk memandang akibat akibatnya.
Ia juga mengatakan, "Ada tiga tanda keyakinan: Mengurangi bergaul dengan manusia; mengurangi pujian kepada mereka saat memperoleh hadiah; dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka jika mereka tidak memberi (hadiah).


Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin): Melihat kepada Allah swt. dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan berpaling kepada-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal."
Syaikh Junaid al Baghdadi mengatakan, "Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah."


Ibnu Atha' mengatakan, "Sebatas derajat dimana mereka mencapai takwa kepada Allah swt, sebatas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan." Landasan takwa kepada Allah adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan menentang perkara yang haram identik dengan menentang diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan."



Salah seorang Sufi mengatakan, "Keyakinan adalah mukasyafah, dan mukasyafah dengan tiga cara: Mukasyafah yang bersifat informatif, mukasyafah penampilan qudrat, dan mukasyafah hati terhadap hakikat iman."
Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, mukasyafah dari segi pengungkapan sesuatu ke dalam hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikit pun. Terkadang istilah kasyf yang mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi antara tidur dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan sabaat.
Imam Abu Bakar bin Furak meriwayatkan, "Aku bertanya kepada Abu Utsman al-Maghriby, 'Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?' Ia menjawab, 'Aku melihat orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.' Lalu aku bertanya, Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan penyingkapan (mukasyafah)?’ Ia menjawab, 'Dengan mukasyafah'."
Amir bin Abdul Qays menjelaskan, "Seandainya tabir (kebenaran) disingkapkan, niscaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku."Dikatakan, "Keyakinan adalah penglihatan langsung yang dihasilkan oleh kekuatan iman." Dikatakan pula, "Keyakinan adalah musnahnya tindak tindak perlawanan."



Syaikh Junaid menegaskan, "Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam penyaksian Yang Gaib."
Saya mendengar Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata mengenai sabda Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam as, "Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan, niscaya ia akan dapat berjalan di udara." Syeikh menjelaskan bahwa dengan ucapannya itu, Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam Mi'raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri Mi'raj itulah beliau mengatakan, "Kulihat Buraq tinggal di belakang sedang aku terus berjalan."



Syaikh Junaid mengabarkan bahwa ketika Syaikh Sari as Saqathi (gurunya) ditanya tentang keyakinan, ia menjawab, "Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun menolak darimu apa yang telah ditetapkan (Allah)."



Ali bin Sahl berkata, "Berada di dalam hadirat Allah swt. (hudhur) lebih diutamakan daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan." Dengan ucapan ini seakan akan Ali bin Sahl menempatkan keyakinan di awal keberadaan hudhur, dan menjadikan hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan akan ia memandang mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin.
Karena itu an-Nury berkata, "Keyakinan adalah musyahadah." Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan kepercayaan yang tidak kokoh.
Abu Bakr al-Warraq berkomentar, "Keyakinan adalah landasan hati dan iman disempurnakan dengannya. Allah swt. diketahui dengan keyakinan, dan akal memahami apa yang datang dari Allah."



Syaikh Junaid mengatakan, "Berkat keyakinan, beberapa orang manusia bisa berjalan di atas air, namun seseorang yang mati kehausan boleh jadi lebih utama derajatnya dibanding mereka."
Ibrahim al-Khawwas menuturkan, "Di padang pasir, aku bertemu dengan seorang pemuda tampan rupawan bagaikan sepotong perak dan aku bertanya kepadanya, 'Engkau hendak ke mana, wahai anak muda?' Ia menjawab, 'Ke Mekkah.' Aku bertanya lagi, 'Tanpa bekal, unta dan uang?' Ia menjawab, Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal'?" Ibrahim selanjutnya menuturkan, "Ketika aku tiba di Mekkah, ku lihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata:"Wahai mata yang senantiasa menangis,Wahai jiwa kematianku yang begitu berduka,Janganlah engkau cintai siapa pun Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung. Dan ketika ia melihatku, ia pun bertanya, 'Wahai orang tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu'?"
Ishaq an-Nahrajury berkata, "Jika seorang hamba menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka."



Abu Bakr al-Warraq berkata, "Ada tiga aspek keyakinan: Keyakinan informatif, keyakinan akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah."
Abu Turab an-Nakhsyaby menuturkan, "Ketika aku melihat seorang pemuda berjalan di padang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati, 'jika ia tidak punya keyakinan, niscaya akan binasa.' Aku bertanya kepadanya, 'Wahai anak muda, apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa perbekalan?' Ia menjawab, 'Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain Allah swt?' Aku pun berkata kepadanya, 'Sekarang, pergilah ke mana engkau mau'!"
Abu Sa'id al-Kharraz menjelaskan, "Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah apa yang rnendorongmu bertindak."


Ibrahim al-Khawwas berkomentar, "Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makanan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu melemparkan kembali jalaku ke air. Kemudian masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi aku melemparkan jalaku ke air, lalu menunggu. Kemudian terdengar sebuah suara galb berseru, 'Apakah engkau tidak bisa mencari Penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?' Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan berhenti mencari ikan."
(Diambil dari kitab "Risalatul Qusyairiyyah" karya Syaikh Abul Qasim al Qusyairi)

Misteri Kehidupan




Butir-Butir pasir Kehidupan..

Menelan Kebahagiaan bersama Penderitaan

Sekejap Kaki Memijak Bumi


Terkurung Sepi dalam misteri


Segenap rahsia bersama kehidupan

Berjalan menuju kematian

Disetiap hamparan penderitaan

Tersimpan cahaya Pencerahan


Cobaan sebagai kasih sayang

Ketenangan dalam kegelisahan

Kemenangan bersama kesabaran

Kesulitan menggapai kemudahan


Meredup dunia

Melepuh gelanggangnya

Berlindung kebesaran iman

Pelita jendela dalam kegelapan


Kematian...

Memeluk kehidupan

Kematian..

Menuju keabadian

Awal menitik kebahagiaan

Menuju yang selalu dirindu


Ya Allah..

NIKMATI SAJA HIDUP INI




NIKMATI SAJA HIDUP INI

Nikmati saja hidupmu, wahai sahabat…
Usahlah engkau bersedih dan mengeluh,
engkau di dunia ini tak akan selamanya,
esokpun engkau akan berpulang,
kembali padaNya... menemuiNya,

Usah engkau risaukan duniamu,
akhirat yang abadi lebih mulia,
bersiaplah engkau untuknya,

Tak perlu banyak bicara,
lakukan saja yang engkau bisa,
ada Dia yang selalu melihatmu,
ada Dia yang selalu mendengar doa-doamu,
ada Dia yang setia menemanimu,

Yakinlah, engkau tak pernah sendiri lagi,
engkau bahagia bersamaNya, bukan?

Rasakanlah kehadiranNya yang setiap saat dekat denganmu,
bahkan ia lebih dekat dari urat nadimu sekalipun,

Lalu...Apalagi alasanmu untuk bersedih?
Apa lagi alasanmu untuk dapat menumpahkan keluhmu?
Apa lagi alasanmu untuk pamerkan kecengenganmu?
Apa lagi alasanmu untuk tidak berbuat, saat kesempatan berbuat begitu luas terbuka?
ia ada untuk engkau isi,
kesempatan itu untuk engkau taklukkan,

So, jangan pernah ragu lagi,
engkau sudah sangat kuat bersamaNya,
engkau sangat luar biasa dalam bimbinganNya,
engkau mampu taklukkan egomu,
engkau mampu runtuhkan kelumu,
engkau mampu robohkan karang kesombonganmu itu,
engkau mampu berlemah lembut,
engkau bisa berkasih sayang,
engkau akan selalu memiliki jiwa yang lapang,
untuk kembali menerbitkan senyumanmu,
senyuman terindah yang engkau miliki,

Yakinlah bahwa engkau mampu,
maka engkau benar-benar mampu, wahai sahabatku…

Semangat berjuang!
gigih berdoa,
jangan pernah engkau lupa, ada Dia bersamamu,

Semoga engkau selalu ingat,
ada yang mengharapkan kebaikan-kebaikanmu,
kenanglah saat-saat engkau menderita,
maka engkau akan mampu berbagi di saat bahagiamu
sumbangkanlah walau sepotong senyumanmu,
sampaikanlah walau sebait nasehatmu,
bagilah walau satu kata motivasimu hari ini,
maka engkau akan bahagia…

Sesungguhnya WANITA Itu CANTIK



Ada cara yang mudah dan murah untuk membuat perempuan cantik, meskipun secara fisik mereka kurang menarik. Yang pertama kali harus dilakukan adalah mendefinisikan kembali makna cantik tersebut. Cantik bukan masalah fisik semata. Kecantikan sejati juga bisa diraih dengan memaknakan kecantikan sebagai berikut:

1. Kecantikan perempuan ada dalam iman taqwanya yang menyejukkan mata kaum laki-laki.

Seorang perempuan yang menghias jasmaninya dengan iman dan taqwa akan memancarkan cahaya surga. Dengan kepatuhannya menjalankan ibadah, ia akan memesona.Yang kuasa akan memberikannya kecantikan abadi, magnet alami. Tak perlu kosmetik, parfum atau penampilan berlebih, laki-laki akan tertarik padanya.

2. Kecantikan perempuan ada pada kehangatan sikapnya yang mampu menggetarkan sensifitas dan kecintaan pria.

Secara umum laki-laki memang responsif terhadap perempuan yang bagus fisiknya. Tapi ketertarikan itu tak kekal, bisa membuat laki-laki bosan. Kehangatan kasih sayang dan cinta kasih yang tuluslah yang akan membuat sang pria nyaman berada di sisinya. Tak bisa melupakannya.

3. Kecantikan Perempuan ada pada kelembutan sikapnya

Kelembutan bukan berarti lembek dan manja. Kelembutan seperti roti. Meskipun sedikit, tapi mengenyangkan. Dari toko roti manapun roti berasal, ia tetap lembut. Jadi perempuan dari suku manapun bisa tetap lembut, pada pasangannya, pada anak-anaknya. Asalkan ia mau berusaha.

4. Kecantikan perempuan berada dalam pandangannya yang teduh dan suaranya yang hangat.

Walau mata tak seindah bintang kejora, setiap perempuan bisa memiliki mata embun. Teduh. Sejuk. Tak gampang emosi. Menyikapi tingkah laku sekitarnya secara bijak. Ia selau berprasangka baik. Perkatannya bukan pisau yang menikam. Perkataannya adalah bara yang menyalakan semangat di dada. Tak ada kata sia-sia yang terucap dari bibirnya.

5. Kecantikan perempuan berada dalam senyumannya yang menambah kecantikannya dan membuat gembira hati orang yang melihatnya.

Senyum adalah sedekah. Murah senyum tanpa bermaksud menggoda apalagi berlebihan bisa membuat wajah indah. Meskipun berwajah rupawan, tapi jika malas tersenyum, hanya aura negatif yang akan ditangkap oleh orang-orang di sekitarnya

6. Kecantikan perempuan berada pada intelektualitasnya

Ukuran intelektual bukan pada gelar sarjananya atau di mana ia pernah menuntut. Banyak ilmu-ilmu yang bisa dipungut dari sekitar, yang membuat si perempuan mejadi cerdas. Kehidupan adalah sekolah yang tak pernah tamat sebelum ajal menjelang. Tak ada sekolah untuk menjadi istri yang baik. Tak ada universitas yang melahirkan ibu yang baik. Ruang dan waktulah yang akan menempa perempuan menjadi istri dan ibu yang baik.

7. Kecantikan perempuan berada pada seberapa jauh pengetahuannya akan tanggung jawabnya terhadap keluarga, rumah, anak-anak , masyarakat dan umat manusia.

Perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Seberapa jauh pengetahuan seorang perempuan akan terlihat dari tingkah laku keluarganya. Ia selalu berusaha menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitarnya. Mengambil peran penting dalam rangka memperbaiki lingkungan. Lihatlah laki-laki sukses di jagat raya. Dibalik kesuksesannya, pasti ada perempuan tangguh yang menemaninya. Menjadi pendukung nomor satu, tempat kembali saat sang pahlawan lelah berjuang.

8. Kecantikan perempuan berada pada kemampuan dan keinginannya untuk memberi.

Orang bisa miskin harta, tapi ia bisa kaya hati. Selalu memberi, tanpa mengharap imbalan yang berarti. Ia senang ketika orang lain senang. Ia sedih ketika orang lain sedih. Kemurahan hatinya membuat wajahnya bersinar. Membuat ia selalu dirindukan, meskipun sosoknya biasa-biasa saja.


Sahabatku...
Kecantikan-kecantikan ini sifatnya abadi.
Akan dikenang meskipun si perempuan telah tiada.
Tidak seperti kecantikan lahiriah yang sementara.
Setelah tua, ketika senja menyapa, ia tak menarik lagi.
Manakah yang akan Anda pilih?
Kecantikan sementara atau kecantikan abadi?

Sabtu, 26 Maret 2011

Al-Luma


Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Kefakiran
Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Saya pernah mendengar jawaban Ibnu Salim ketika ditanya tentang dzikir, “Ada tiga macam bentuk dzikir: dzikir dengan

lisan yang memiliki sepuluh kebaikan, dzikir dengan hati yang memiliki tujuh ratus kebaikan dan dzikir yang pahalanya tidak dapat ditimbang dan dihitung,
yaitu puncak kecintaan kepada Allah serta perasaan malu karena kedekatan-Nya.”



Al- Junaid -rahimahullah- berkata, “Kefakiran adalah samudra cobaan (bala’), namun seluruh cobaannya adalah kemuliaan.” la ditanya tentang kapan orang fakir yang jujur ini mengharuskan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan tenggang waktu lima ratus tahun? Maka la menjawab, “Jika si fakir ini bermuamalah kepada Allah dengan hati nuraninya, setuju dengan Allah pada apa yang tidak diberikan-Nya, sehingga kefakirannya dianggap sebagai nikmat dari Allah yang diberikan kepadanya, dimana la merasa takut bila kefakirannya itu hilang sebagaimana ia merasa takut bila kekayaannya itu hilang. Ia selalu bersabar, berniat karena Allah dan bersenang hati dengan kefakiran yang telah dipilihkan Allah untuknya, dengan tetap menjaga agamanya, menyembunyikan kefakirannya, menampakkan kekecewaannya terhadap makhluk dan merasa cukup dengan Allah dalam kefakirannya, sebagaimana difirmankan Allah Swt., ‘(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orangkaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.’ (Q.S. al-Baqarah: 273).

Apabila si fakir memiliki sifat-sifat tersebut, maka la akan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan tenggang waktu lima ratus tahun. Sementara hari Kiamat cukup baginya sebagai beban untuk menunggu dan diperhitungkan amalnya.”
Ibnu al Jalla’ -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa tidak menyertai kefakirannya dengan sikap wara` (jaga diri dari syubhat), maka la akan terjerumus pada hal-hal yang diharamkan secara pasti, sementara la sendiri tidak menyadarinya.”
Al Junaid -rahimahullah- pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling mulia?” Lalu la menjawab, “Yaitu orang fakir yang ridha.”
Al-Muzayyin -rahimahullah- pernah mengatakan, “Batas kefakiran ialah bila orang yang fakir tidak bisa lepas dari kebutuhan.”
Ia juga mengatakan, `Apabila si fakir kembali kepada Allah Azza wa Jalla maka la akan bisa diterangkan bahwa la disertai ilmu pengetahuan, akhirnya la bingung dalam keberadaannya.”
Sementara al Junaid -rahimahullah- mengatakan, “Seseorang tidak bisa memastikan dengan benar akan kefakirannya sehingga la yakin bahwa di hari Kiamat nanti tidak ada orang yang lebih fakir daripada dirinya.”

Pendapat Mereka Tentang Ruh
Asy-Syibli -rahimahullah- mengatakan, "Hanya dengan Allah, ruh, jasad dan bersitan-bersitan hati bisa eksis, dan bukan karena eksistensi dzatnya masing-masing."
Ia juga pernah berkata, "Ruh itu penuh keramahan dan kelembutan, kemudian ia menggantung pada ujung hakikat. Ia tidak tahu siapa sebenarnya yang disembah dan berhak sebagai peribadatan, dimana la tidak mendekat kepada Dzat Yang Maha Menyaksikan (asy-Syahid) dengan tanpa melihat pada fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi (Masyahid). la yakin, bahwa makhluk tidak akan bisa memahami Dzat Yang Maha Qadim dengan SifatNya yang bisa diberi alasan."
Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah- berkata: Saya pernah melihat pembahasan al Wasithi -rahimahullah- tentang ruh, dimana la mengatakan, "Ruh itu ada dua macam: ruh yang menghidupkan makhluk, dan ruh yang menjadi penerang hati. Dan ruh yang terakhir inilah yang difirmankan Allah Swt.:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (nilai spiritual al-Qur'an) dengan perintah Kami.”
(Q.S. asy-Syura: 52).

la dinamakan ruh karena kelembutannya. Jika anggota tubuh berbuat kejelekan yang menyalahi adabnya, maka ruh akan terhalang dari sentuhan-sentuhan sebab yang menyakitkan."
Al Wasithi melanjutkan, "Ketika perhatian-perhatian itu terjadi pada ruh, maka ia akan menapak lebih tinggi pada hari-hari dan waktunya, la tahu segala yang mengajaknya berbicara dan memberi isyarat pada yang bisa dilihat."
Selanjutnya al Wasithi mengatakan, "Sesungguhnya itu adalah dua unsur: ruh dan akal. Maka ruh tidak dapat memberi kepada ruh sesuatu yang dicintainya. Demikian pula akal tidak siap untuk menolak dari akal sesuatu yang tidak disukainya."
Dikisahkan dari Abu Abdillah an-Nibaji yang mengatakan, “Apabila seorang arif telah bisa ‘sampai' (wushul), maka dalam dirinya terdapat dua ruh: ruh yang tidak mengalami perubahan dan perbedaan, dan ruh yang mengalami perubahan dan perbedaan."
Sebagian kaum Sufi mengatakan, "Ruh itu ada dua macam: ruh yang bersifat qadim dan ruh manusiawi (basyariyyah). Mereka berpendapat demikian atas dasar sabda Rasulullah Saw.:
"Kedua mataku tidur, namun hatiku tidak tidur." (H.r. Bukhari-Muslim dari Aisyah).

Maka secara lahiriah beliau tidur dengan ruh manusiawinya, sementara batinnya tidak tidur dan selalu terjaga tanpa mengalami perubahan.
Demikian halnya dengan sabda beliau:
"Sesungguhnya aku dijadikan lupa supaya aku bisa membuat sunnah. "
Sementara itu beliau juga pernah memberitahu, bahwa beliau tidak pernah dijadikan orang yang lupa. Maka apa yang diberitahukan ini adalah kondisi ruh qadim.
Demikian pula dengan sabda beliau:
“Aku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku senantiasa berada dalam lindungan Tuhanku Yang memberiku makan dan minum."

Apa yang diberitahukan ini adalah sifat ruh qadim. Sebab beliau memberitahukan tentang sifat-sifat yang bukan sifat-sifat ruh. Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Pendapat tentang ruh yang dikemukakan tersebut adalah tidak benar. Sebab sifat keqadiman tidak akan bisa terpisah dari Dzat Yang Maha Qadim, sementara makhluk tidak sambung dengan Yang Maha Qadim - Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Saya pernah mendengar Ibnu Salim ditanya tentang pahala dan siksa, "Apakah pahala dan siksa diberikan pada ruh dan jasad atau hanya pada jasad?" Maka ia menjawab, "Taat dan maksiat tidak muncul dari jasad saja tanpa ruh atau dari ruh saja tanpa jasad, sehingga pahala dan siksa hanya diberikan pada jasad saja atau pada ruh saja. Maka orang yang berpendapat bahwa ruh itu mengalami reinkarnasi, perpindahan dan keqadiman, maka ia benar-benar tersesat dan sangat merugi."

Isyarat
Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah- berkata: Jika ada seseorang bertanya, "Apa makna isyarat?" Maka jawablah, "Pada firman Allah, ‘Maha Suci Dzat' (Q.s. al-Furqan:1).
Maka lafadz ‘alladzii’ dalam ayat tersebut adalah suatu kirzayah (metonimia). Sementara metonimia adalah seperti isyarat dalam kelembutan maknanya. Dan isyarat hanya bisa dipahami oleh para tokoh yang memiliki keilmuan yang tinggi."

Asy-Syibli -rahimahullah- berkata, "Setiap isyarat yang digunakan makhluk untuk memberi isyarat kepada al-Haq adalah dikembalikan kepada mereka, sehingga mereka memberi isyarat kepada al-Haq dengan al-Haq, yang mana mereka tidak menemukan jalan untuk menuju ke sana."
Abu Yazid al-Bisthami mengatakan, "Orang yang paling jauh dari Allah ialah orang yang paling banyak memberi isyarat kepadaNya." Kemudian la bercerita, ‘Ada seseorang datang kepada al-Junaid bertanya tentang suatu masalah. Kemudian al-Junaid memberi isyarat dengan kedua matanya melihat ke langit. Lalu orang tersebut berkata, ‘Wahai Abu al-Qasim, jangan memberi isyarat kepadaNya, sebab Dia lebih dekat dengan Anda daripada apa yang Anda isyaratkan.' Maka
al- Junaid berkata, ‘Anda benar.' Dan kemudian tertawa."

Dikisahkan dari Amr bin Utsman al-Makki -rahimahullah- yang mengatakan, "Hakikat para sahabat kami adalah Tauhid sementara isyarat mereka dianggap syirik."
Sebagian kaum Sufi berkata, "Masing-masing orang ingin memberi isyarat kepada-Nya, akan tetapi tidak seorang pun diberi jalan menuju ke sana."
Dikisahkan dari al Junaid -rahimahullah- yang pernah berkata kepada seseorang, "Dia itukah yang Anda beri isyarat wahai laki-laki? Berapa kali Anda memberi isyarat kepada-Nya? Tinggalkan, maka Dia akan memberi isyarat kepada Anda."
Abu Yazid -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa memberi isyarat kepada-Nya dengan ilmu, maka la telah kufur, sebab isyarat dengan ilmu hanya terjadi pada sesuatu yang diketahui. Dan barangsiapa memberi isyarat kepada-Nya dengan ma'rifat maka ia telah kufur (mulhid) sebab isyarat dengan ma'rifat hanya terjadi pada hal-hal yang bisa dibatasi."

Saya mendengar ad-Duqqi bercerita: Az-Zaqqaq -rahimahullah- pernah ditanya tentang ‘murid', maka la menjawab, "Hakikat murid ialah dengan memberi isyarat kepada Allah Swt, sehingga ia bisa menemukan Allah bersamaan dengan isyarat itu sendiri." Kemudian la ditanya, "Lantas apa yang bisa memahami kondisi spiritualnya?" la menjawab, "Ialah menemukan Allah Swt. dengan menghilangkan isyarat?" Permasalahan ini dikenal dari al Junaid.
An-Nuri -rahimahullah- mengatakan, "Dekatnya kedekatan tentang apa yang kita beri isyarat adalah jauhnya kejauhan."
Yahya bin Mu'adz -rahimahullah- berkata, "Jika Anda melihat seseorang memberi isyarat kepada suatu perbuatan maka tarekat (cara) yang ia tempuh adalah tarekat wara’ (jaga diri dari syubhat). Jika Anda melihat seseorang memberi isyarat kepada ilmu maka tarekat yang la tempuh adalah tarekat ibadah. Jika Anda melihatnya memberi isyarat pada keamanan dalam rezeki maka tarekatnya adalah tarekat zuhud. Jika Anda melihatnya memberi isyarat pada ayat-ayat Tuhan, maka tarekatnya adalah tarekat al-Abdal (para pengganti). Jika Anda melihatnya memberi isyarat kepada nikmat-nikmat Allah maka tarekatnya adalah tarekat para arif."
Abu All ar-Rudzabari -rahimahullah- mengatakan, "Ilmu kami ini adalah isyarat. Jika telah menjadi ungkapan maka akan tidak jelas (samar)."
Seseorang menanyakan suatu masalah kepada Abu Ya'qub as-Susi -rahimahullah- dimana la hanya memberikan isyarat atas pertanyaannya itu. Maka as-Susi menjawab, "Wahai laki-laki yang bertanya, sebenarnya kami bisa menjawab pertanyaan Anda tanpa dengan isyarat yang Anda berikan." Tampaknya Abu Ya'qub tidak menyukai isyaratnya.

Kepandaian (azh-Zharf)
Al Junaid -rahimahullah- pernah ditanya tentang makna azh-zharf, maka ia menjawab, “Yaitu menghindari segala bentuk akhlak yang rendah, dan menggunakan segala akhlak yang mulia, Anda berbuat semata karena Allah kemudian Anda tidak melihat bahwa diri Anda merasa berbuat.”

Muru’ah
Ahmad bin Atha'  -rahimahullah- ditanya tentang muru'ah, maka la menjawab, "Jangan menganggap banyak amalan yang Anda lakukan untuk Allah, dan ketika Anda melakukan suatu amal maka seakan-akan Anda tidak pernah melakukan sesuatu, sementara Anda menginginkan yang lebih banyak dari itu."

Nama Sufi
Mengapa kelompok ini disebut dengan sebutan Sufi? Maka Ibnu ‘Atha' -rahimahullah- memberikan jawaban, "Mereka disebut dengan nama itu, karena bersihnya kelompok tersebut dari kotoran makhluk dan keluar dari tingkat kejelekan."
An-Nuri -rahimahullah- mengatakan, “Mereka disebut dengan nama ini, sebab kelompok tersebut mencakup makhluk dengan lahiriah para ahli ibadah, sementara mereka mencurahkan segalanya hanya untuk Allah dengan tingkatan orang-orang yang cinta.”
Asy-Syibli -rahimahullah- berkata, “Mereka disebut dengan nama ini, karena masih ada sisa-sisa diri (nafsu) mereka yang tertinggal. Andaikan tidak ada sisa-sisa tersebut, tentu tidak akan ada nama yang bisa melekat pada mereka.”
Sebagian kaum Sufi mengatakan, “Mereka disebut demikian disebabkan mereka bernafas dengan ruh kecukupan (al-kifayah) dan berpenampilan dengan sifat inabah (kembali kepada Tuhan).”



Rezeki
Yahya bin Mu'adz -rahimahullah- mengatakan, "Dalam wujud (keberadaan) seorang hamba, rezeki tanpa harus dicari, dan itu membuktikan bahwa rezeki diperintah untuk mencari pemiliknya."
Sebagian kaum Sufi mengatakan, "Apabila saya mencari rezeki sebelum waktunya maka saya tidak akan mendapatkannya dan apabila saya mencarinya setelah lewat waktunya saya juga tidak akan mendapatkannya dan apabila saya mencarinya tepat pada waktunya maka saya akan tercukupi."
Diceritakan dari Abu Ya'qub -rahimahullah- yang berkata: Orang-orang berbeda pendapat tentang sebab-sebab datangnya rezeki. Sebagian kaum mengatakan, bahwa sebabnya rezeki adalah berusaha dan bekerja keras. Ini adalah pendapat orang-orang Qadariyah. Sementara itu sebagian kaum yang lain mengatakan, bahwa sebabnya rezeki adalah taqwa.
Mereka berpendapat demikian atas dasar lahiriah ayat al-Qur'an:
"Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka."
(Q.s. ath-Thalaq: 2-3).

Mereka telah keliru dalam pendapatnya. Sementara Ilmu yang ada di sisi Allah, bahwa sebabnya rezeki ialah karena penciptaan. Sebagaimana yang difirmankan Allah Swt.:
“Allah-lah yang menciptakan kalian, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan."
(Q.s. ar-Rum: 40).

Allah tidak mengkhususkan pemberian rezeki-Nya kepada orang mukmin saja, tetapi juga orang kafir.
Abu Yazid bercerita: Saya pernah memuji baik seorang murid di hadapan sebagian ulama. Kemudian orang alim (ulama) tersebut bertanya, "Dari mana penghidupannya?" Saya menjawab, "Saya tidak pernah meragukan Penciptanya sehingga saya harus bertanya siapa yang memberinya rezeki." Orang alim tersebut merasa malu lalu ia tidak melanjutkan.

Masalah 1
Al Junaid -rahimahullah- ditanya, "Bagaimana bila nama seorang hamba telah hilang dan yang tetap tinggal hanya hukum Allah?" Maka la menjawab, "Perlu Anda ketahui - semoga Allah memberi rahmat kepada Anda - bahwa jika ma'rifat kepada Allah (Ma'rifat Billah) telah menjadi agung dan tinggi, maka bekas-bekas hamba akan menghilang dan simbol-simbolnya akan terhapus. Pada saat itu tampaklah ilmu al-Haq dan yang tersisa adalah nama hukum Allah Swt."
Al Junaid -rahimahullah- pernah ditanya, "Kapan seorang hamba menganggap sama antara orang yang memuji dengan orang yang mencacinya?" la menjawab, "Ketika la menyadari bahwa ia hanyalah seorang makhluk dan bahan fitnahan."



Ibnu Atha' -rahimahullah- ditanya, "Kapan la mendapatkan kedamaian hati? atau Dengan apa la bisa meraih kedamaian hati?" la menjawab, "Yaitu dengan memahami haqul-yaqin, yaitu al-Qur'an, kemudian la diberi ilmul-yaqin dan setelah itu la melihat ainul-yaqin. Pada saat itu hatinya akan merasa tenteram. Sedangkan ciri-cirinya adalah ridha atas takdir yang telah ditentukan-Nya dengan perasaan penuh wibawa dan cinta serta menganggap-Nya sebagai Pelindung dan Dzat Yang diserahi tanpa ada perasaan curiga yang mengganjal."

Abu Utsman -rahimahullah- ditanya tentang perasaan sedih yang sering dialami manusia pada umumnya, sementara la tidak tahu dari mana la datang. Maka Abu Utsman menjawab, "Sesungguhnya ruh selalu mawas diri dari perbuatan dosa dan kejahatan yang senantiasa mengintai jiwa (nafsu), sementara jiwa akan melupakannya. Dan apabila ruh menemukan jiwa telah sadar, maka kejahatannya akan ditunjukkan, akhirnya ia diselimuti rasa kegelisahan dan sedih. Inilah perasaan sedih yang sering ditemukan seseorang, sementara ia tidak mengerti dari mana la masuk ke dalam dirinya."

Firasat
Yusuf bin al-Husain -rahimahullah- pernah ditanya tentang Hadis Nabi Saw, "Hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin karena ia melihat dengan Cahaya Allah." Maka la mengatakan, "Ini benar dari Rasulullah dan terutama orang-orang yang beriman (mukmin). Dan ini adalah kelebihan dan karamah (kemuliaan ) bagi orang yang hatinya diberi cahaya oleh Allah dan dilapangkan dadanya. Sementara itu seseorang tidak berhak memberikan keputusan hukum untuk dirinya dengan firasat tersebut, sekalipun banyak benarnya dan sedikit sekali terjadi kesalahan. Orang yang tidak bisa memberikan keputusan hukum untuk dirinya dengan hakikat keimanan, kewalian dan kebahagiaan, lalu bagaimana ia bisa memberi keputusan hukum untuk dirinya dengan kelebihan karamah? Sebenarnya itu hanyalah kelebihan bagi orang-orang beriman tanpa harus memberi isyarat apa pun kepada seseorang."

Fantasi (waham)
Ibrahim al-Khawwash -rahimahullah- pernah ditanya tentang waham, maka ia mengatakan, "Waham adalah pemisah yang berdiri sendiri antara akal dan pemahaman, dimana ia tidak bisa dinisbatkan pada akal sehingga menjadi bagian dari sifat-sifat akal dan tidak pula dinisbatkan pada pemahaman sehingga ia menjadi bagian dari sifat-sifat pemahaman. Namun la berdiri sendiri yang mirip dengan sinar antara matahari dengan air, dimana ia tidak bisa dinisbatkan pada matahari dan tidak pula pada air. Atau mirip dengan rasa kantuk antara tidur dan bangun terjaga, maka ia tidak bisa disebut orang yang sedang tidur dan tidak pula orang yang sedang bangun terjaga. Maka ini adalah kesadarannya, yakni kelangsungan akal pada pemahaman atau pemahaman pada akal, sehingga di antara keduanya tidak ada pemisah yang berdiri sendiri. Sedangkan pemahaman adalah intisari yang jernih dari akal, sebagaimana intisari segala sesuatu adalah isinya."

Masalah 2
Abu Yazid -rahimahullah- pernah ditanya tentang makna firman Allah Swt.:
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.".
(Q.s. Fathir: 32).

Maka Abu Yazid mengatakan, "Orang yang terlebih dahulu berbuat kebaikan (as-sabiq) adalah orang yang dicambuk dengan cambuk cinta (mahabbah), dipenggal dengan pedang kerinduan dan berbaring di depan ‘pintu' kewibawaan. Sementara orang yang tengah-tengah (al-muqtashid) adalah dicambuk dengan cambuk kesedihan, dipenggal dengan pedang penyesalan lalu berbaring di depan ‘pintu' kemuliaan. Sedangkan orang yang menganiaya dirinya sendiri (azh-zhalim) adalah dicambuk dengan cambuk harapan dan cita-cita, dipenggal dengan pedang ketamakan lalu terkapar di ‘pintu' siksaan."
Sementara itu kaum Sufi yang lain mengatakan, "Orang yang menganiaya dirinya sendiri akan disiksa dengan hijab (penghalang), dan orang yang berada di tengah-tengah telah masuk ke bagian dalam, sedangkan orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan telah sujud di atas hamparan milik Sang Penguasa dan Maha Pemberi."
Sedangkan yang lainnya berkata, "Orang yang menganiaya dirinya sendiri disiksa dengan penyesalan atas kecerobohannya, sedangkan orang yang tengah-tengah diselimuti dengan perlindungan dan kehati-hatian. Sedangkan orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan akan bersujud dengan hatinya kepada al-Haq di atas hamparan ‘permadani’. Orang yang menganiaya dirinya akan terhalang dari memperoleh penjagaan dan as-sabiq tampak melakukan sujud di atas permadani dengan hatinya kepada al-Haq. Sementara itu orang yang menganiaya dirinya sendiri akan terhalang untuk mendapatkan isyarat, orang yang tengah-tengah akan terjaga dengan isyarat yang jelas, sedangkan orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan akan selalu dicinta dengan membenarkan isyarat."
Sementara itu ada kaum Sufi lain yang berpendapat, bahwa orang yang menganiaya diri sendiri adalah dal, orang yang tengah-tengah adalah ba', dan orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan adalah mim.

Berandai (Tamanni)
Ruwaim bin Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya, "Bolehkan seorang murid berandai-andai?" la menjawab, "Seorang murid tidak seyogyanya berandai-andai, la hanya boleh berharap. Sebab berandai-andai adalah melihat nafsu sedang berharap adalah melihat apa yang lebih dahulu ditentukan Allah.
Berandai-andai adalah termasuk sifat-sifat nafsu, sedangkan berharap adalah sifat hati. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu."

Berbuat Baik & Menjauhi Keburukan

Sayidina Ali ra

Kebaikan bukanlah dengan bertambah banyaknya harta dan anakmu. Akan tetapi kebaikan adalah dengan bertambah banyaknya ilmumu, bertambah besarnya kesabaranmu, dan engkau menyaingi orang lain dengan ibadahmu kepada Tuhan mu. Maka, jika engkau berbuat baik, engkau memuji Allah ‘Azza wajalla; dan jika engkau berbuat buruk, engkau beristighifar kepada Allah.

Tidak ada kebaikan di dunia ini kecuali bagi dua golongan manusia, yaitu: Pertama, seseorang yang berbuat dosa, lalu dia cepat-cepat meluruskan perbuatannya dengan bertobat. Kedua, seseorang yang bersegera dalam amal kebajikan. Tidaklah dipandang sedikit



   1. perbuatan yang dilakukan dengan ketakwaan, maka bagaimana dapat dikatakan sedikit suatu perbuatan yang diterima (Allah)?
   2. Kesempatan terus berjalan seperti jalannya awan. Oleh karena itu, cepat-cepatlah kalian ambil segala kesempatan yang baik (sebelum Ia berlalu dari kalian).
   3. Kedermawanan yang sebenarnya adalah berniat melakukan kebaikan kepada setiap orang.
   4. Di antara amal kebajikan yang paling utama adalah: berderma di saat kesusahan, bertindak benar ketika sedang marah, dan memberi maaf ketika mampu untuk menghukum.
   5. Kebaikan yang tidak ada keburukan di dalamnya adalah bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan, dan bersabar ketika mendapatkan musibah.
   6. Berbuatlah kebaikan dan janganlah kalian meremehkannya sedikit pun. Sebab, yang kecilnya adalah besar dan sedikitnya adalah banyak. Dan janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian mengatakan, ”Sesungguhnya orang lain Iebih utama dalam hal melakukan kebaikan ini daripada saya.” Maka, demi Allah, perkataannya akan menjadi kenyataan. Sesungguhnya bagi kebaikan dan keburukan ada pemiliknya (pelakunya). Maka, bagaimanapun kalian meninggalkan di antara keduanya, ada orang lain yang akan mengerjakannya.
   7. Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah segala amal nya kecuali tiga: sedekah jariah; ilmu yang dia ajarkan kepada manusia lalu mereka mendapatkan manfaat dengannya; dan anak yang saleh yang mendoakannya.
   8. Maafkanlah kesalahan orang-orang yang memiliki akhlak yang mulia karena setiap orang di antara mereka, jika melakukan suatu kesalahan, pasti tangan Allah ada bersama tangannya yang mengangkat kesalahannya itu.
   9. Janganlah engkau meninggalkan kebaikan karena zaman selalu berputar. Banyak sekali orang yang pagi harinya mengharapkan kebaikan (pemberian) orang lain berubah menjadi orang yang diharapkan kebaikannya oleh orang lain, dan orang yang kemarinnya mengikuti orang lain berubah menjadi orang yang diikuti.
  10. Permulaan kebaikan di pandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekadar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat daripada memulainya.
  11. Dengan kebaikan, orang yang merdeka dapat diperbudak.
  12. Pasti untukmu ada seorang teman di dalam kuburmu. Oleh karena itu, jadikanlah temanmu itu seorang yang berwajah tampan yang wangi baunya. Dia adalah amal saleh.
  13. Memulai pekerjaan adalah sunnah, sedangkan memeliharanya adalah wajib.
  14. Tidak ada perdagangan yang seperti amal saleh, dan tidak ada keuntungan yang seperti pahala.
  15. Jika engkau merasa lelah dalam kebajikan, maka sesungguhnya kelelahan itu akan hilang, sementara kebajikan akan kekal.
  16. Belanjakanlah hartamu dalam hal yang benar, dan janganlah engkau menjadi penyimpan harta untuk selain dirimu (orang lain).
  17. Benar-benar mengherankan, orang yang dikatakan kebaikan ada padanya padahal kebaikan itu tidak ada pada dirinya, bagaimana dia merasa gembira? Dan juga benar-benar mengherankan, orang yang dikatakan keburukan ada padanya, padahal keburukan itu tidak ada pada dirinya, bagaimana dia marah?
  18. Tidak ada yang mengetahui keutamaan orang yang memiliki keutamaan kecuali orang-orang yang memiliki keutamaan.
  19. Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dikhususkanNya dengan berbagai kenikmatan untuk kemanfaatan hamba-hamba-Nya yang lain. Allah mengukuhkan kenikmatan (harta) itu di tangan mereka selama mereka mendermakannya. Maka, jika mereka tidak mendermakannya, pasti Allah akan mencabutnya dari mereka, kemudian Dia mengalihkannya kepada orang-orang selain mereka.
  20. Kebajikan adalah apa yang dirimu merasa tenang padanya dan hatimu merasa tenteram karenanya. Sedangkan dosa adalah yang jiwamu merasa resah karenanya dan hatimu menjadi bimbang.
  21. Jika bentuk keburukan bergerak dan tidak tampak wujudnya, maka Ia akan menyebabkan ketakutan; dan jika tampak wujudnya, maka Ia akan menyebabkan kesakitan. Sebaliknya, jika bentuk kebaikan bergerak dan tidak tampak wujudnya, maka ia akan menyebabkan kegembiraan; dan jika tampak wujudnya, maka ia akan menyebabkan kenikmatan.
  22. Lemparkan kembali batu itu dari arah mana ia datang, karena sesungguhnya kejahatan tidak didorong kecuali oleh kejahatan.
  23. Tangguhkanlah keburukan karena sesungguhnya jika engkau menghendaki, niscaya engkau akan terburu-buru mengerjakannya.
  24. Pelaku kebaikan lebih baik daripada kebaikan itu sendiri, dan pelaku kejahatan lebih jahat daripada kejahatan itu sendiri.
  25. Bersahabatlah dengan orang-orang yang baik, niscaya engkau akan termasuk di antara mereka; dan tinggalkanlah orang-orang jelek, niscaya engkau terpisah dari mereka.
  26. Janganlah engkau bersahabat dengan orang jahat karena sesungguhnya watakmu mencuri dari sebagian wataknya, sementara engkau tidak tahu.
  27. Orang-orang jahat mengincar keburukan manusia dan meninggalkan kebaikan mereka, sebagaimana lalat mengincar tempat-tempat yang busuk.
  28. Sesuatu yang manfaatnya bersifat umum adalah kematian bagi orang-orang jahat.
  29. Janganlah kalian bersahabat dengan orang-orang jahat karena Sesungguhnya mereka mengungkit-ungkit kebaikan mereka terhadap kalian.

Selasa, 22 Maret 2011

Wirid Lebih Utama Ketimbang Pahalanya

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Tidak ada yang meremehkan konsistensi wirid (ketaatan di setiap waktu) kecuali orang yang sangat bodoh, karena warid ( pahala wirid) itu akan di dapat di negeri akhirat, sedangkan taat atau wirid itu akan lenyap bersama lenyapnya dunia ini.

Sedangkan yang lebih utama untuk diprioritaskan adalah yang wujudnya tidak bisa diabaikan. Wirid adalah HakNya yang harus anda laksanakan. Sedangkan warid adalah sesuatu yang anda cari dariNya. Mana yang lebih utama antara sesuatu yang dituntut oleh Allah padamu, dibanding apa yang anda tuntut dari Allah?
Mayoritas ummat ini lebih banyak berburu pahala dan janjinya Allah swt. Dalam segala gerak gerik ibadahnya. Padahal yang lebih utama adalah ibadah dan kepatuhannya itu sendiri. Sebab kepatuhan dan ubudiyah yang dituntut oleh Allah swt, dan menjadi HakNya, itu lebih utama dibanding hak kita yang besok hanya akan bisa kita raih di akhirat.

Sebab kesempatan melaksanakan HakNya saat ini dibatasi oleh waktu dunia, dan akan habis ketika usia seseorang itu selesai. Karena itu semampang di dunia, ibadah, amal, wirid harus diperbanyak sebanyak-banyaknya. Soal pahala dan balasan di akhirat itu bukan urusan kita. Manusia tidak berhak mengurus dan menentukan pahalanya. Semua itu adalah haknya Allah swt. Yang telah dijanjikan kepada kita, karena merasa menginginkannya.
Ibnu Athaillah lalu menegaskan, mana lebih utama tuntutan anda apa tuntutan Allah?
Disinilah lalu berlaku pandangan:
1. Taat itu lebih utama dibanding pahalanya.
2. Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya.
3. Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya.
4. Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya.
5. Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya.
6. Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan.
7. Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya.
8. Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan.
9. Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati.
10. Wirid itu lebih utama ketimbang warid.
11. dan seterusnya.

Para sufi sering mengingatkan kita, “Carilah Istiqomah dan jangan anda menjadi pemburu karomah. Sebab nafsumu menginginkan karomah sedangkan Tuhanmu menuntutmu istiqomah. Jelas bahwa Hak Tuhanmu lebih baik dibanding hak nafsumu.”

Abu Syulaiman ad-Darany menegaskan, “Seandainya aku disuruh memilih antara sholat dua rekaat dan masuk syurga firdaus, sungguh aku memilih sholat dua rekaat. Karena dalam dua rekaat itu ada Hak Tuhanku, sedangkan dalam syurga firdaus hanya ada hak diriku.”

Tanpa Cinta, Segalanya Tak Bernilai


Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah
hidup. Sebab tanpa Cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung pada Hari
Perhitungan nanti. Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta, akan menjelma
menjadi wajah yang memalukan dihadapanNya.
Burung-burung Kesedaran telah turun dari langit dan terikat pada bumi
sepanjang dua atau tiga hari. Mereka merupakan bintang-bintang di langit
agama yang dikirim dari langit ke bumi. Demikian pentingnya Penyatuan
dengan Allah dan betapa menderitanya Keterpisahan denganNya.
Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting dalam zikir hari yang kau
gerakkan dari Persatuan. Lihatlah pepohonan ini ! Semuanya gembira
bagaikan sekumpulan kebahagiaan. Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah
engkau larut dalam kepedihan ? Sang lili berbisik pada kuncup : “Matamu
yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan
bagaimana Nikmatnya Kebaikan.”
Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan
Hati. Hingga dia akan sampai pada jawaban “YA” dalam pertanyaan :
“Bukankah Aku ini Rabbmu ?”

UNTAIAN KALIMAT HIKMAH ALI bin ABI THALIB


ILMU & PENGAMALANNYA
1. Ilmu berhubungan dengan amal. Barangsiapa yang berilmu, nis-caya mengamalkan ilmunya. Ilmu memanggil amal; maka jika ia menyambut panggilannya ...; bila tidak menyambutnya, ia akan berpindah darinya.
2. Pelajarilah ilmu, niscaya kalian akan dikenal dengannya; dan amal-kanlah ilmu (yang kalian pelajari) itu, niscaya kalian akan terma­suk ahlinya.
3. Wahai para pembawa ilmu, apakah kalian membawanya? Sesung­guhnya ilmu... hanyalah bagi yang mengetahuinya, kemudian dia mengamalkannya, dan perbuatannya sesuai dengan ilmunya. Akan
datang suatu masa, dimana sekelompok orang membawa ilmu, na-mun ilmunya tidak melampaui tulang selangkanya. Batiniah me-reka berlawanan dengan lahiriah mereka. Dan perbuatan mereka berlawanan dengan ilmu mereka.
4. Orang yang beramal tanpa ilmu, seperti orang yang berjalan bukan di jalan. Maka, hal itu tidak menambah jaraknya dari jalan yang terang kecuali semakin jauh dari kebutuhannya. Dan orang yang beramal dengan ilmu, seperti orang yang berjalan di atas jalan yang terang. Maka, hendaklah seseorang memperhatikan, apakah dia berjalan, ataukah dia kembali?
5. Janganlah sekali-kali engkau tidak mengamalkan apa yang telah engkau ketahui. Sebab, setiap orang yang melihat akan ditanya ten-tang perbuatannya, ucapannya, dan kehendaknya.
6. Orang yang berilmu tanpa amal, seperti pemanah tanpa tali busur.

Petuah Hikmah Muslim

Adab Makan dan Minum

Wahai, Anakku ! Jika engkau ingin hidup dalam keadaan sehat tubuhmu dan bersih dari penyakit, maka janganlah memasukkan dalam perutmu makanan demi makanan. Janganlah makan, kecuali bila engkau sudah lapar. Dan ketika engkau makan, janganlah engkau penuhi perutmu dengan makanan.

Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah anak Adam (manusia) memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya.”
Wahai, Anakku ! Apabila engkau ingin makan, maka cucilah kedua tanganmu lebih dulu. Dan sebutlah nama Allah untuk makananmu dan jangan menelan makanan itu sekaligus, tetapi kunyahlah makanan itu dengan baik. Karena pengunyahan yang baik membantu pencernaan.

Makanlah makanan yang ada di depanmu dan janganlah ulurkan tanganmu ke sana dan ke sini di dalam wadah, karena hal itu termasuk keserakahan yang tercela.

Wahai, Anakku ! Janganlah engkau lakukan seperti apa yang dilakukan orang-orang yang rendah dan tidak bermoral. Maka, janganlah engkau makan di pasar maupun di tengah jalan, walaupun hanya makan buah. Karena hal itu menjatuhkan harga diri dan mengurangi wibawa orang yang berbudi.

Wahai, Anakku ! Hindarilah sifat kikir dan serakah. Apabila engkau duduk dan di sampingmu ada seorang yang engkau kenal atau tidak engkau kenal, maka ajaklah dia makan bersamamu.

Apabila masih ada sisa makanan, maka sedekahkanlah kepada orang yang membutuhkan dan jangan menganggap kecil sesuatu yang engkau sedekahnya. Karena sedekah yang sedikit mempunyai tempat yang dibutuhkan oleh orang-orang miskin. Apabila engkau memberi sedekah kepada seorang miskin, janganlah engkau mengejeknya.

Janganlah sedekahmu disusul dengan mengganggu orang yang engkau beri sedekah.

’’ Perkataan yang baik dan pemberian maaf, lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima).”

berusahalah sekuat tenaga untuk menyembunyikan sedekahmu dari orang banyak. Karena sedekah secara sembunyi memadamkan amarah Allah Ta’ala.

Wahai, Anakku ! Hindarilah makan dan minum dalam wadah-wadah yang kotor. Boleh jadi kekotoran wadah-wadah itu akan menimbulkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh pengobatan dokter maupun orang bijak.

Janganlah engkau minum, kecuali air yang bersih dari kotoran. Apabila engkau minum, maka sebutlah nama Allah sebelum minum dan jangan minum air dengan sekali teguk, tetapi minumlah dengan mengisapnya sedikit demi sedikit.

Istirahatlah sejenak di waktu minum dan hendaklah engkau lakukan itu tiga kali. Engkau selingi antara kali yang satu dan kali yang lain dengan menyebut nama Allah Ta’ala.

Apabila selesai makan dan minum, maka panjatkan puji bagi Allah yang memberimu makan dan minum, dan panjatkan syukur kepada-Nya atas segala nikmat-Nya yang tidak terhitung banyaknya. Semoga Allah memberimu petunjuk dan bimbingan.

LIDAH

1.      Lidah orang mukmin berada di belakang hatinya, sedang hati orang munafik berada di belakang lidahnya.

2.      Tidaklah lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya sehingga lurus lidahnya.

3.      Demi Allah, tidaklah aku melihat seorang hamba bertakwa dengan takwa yang membawa manfaat baginya sehingga dia menyimpan lidahnya.

4.      Sesungguhnya lidah ini senantiasa tidak mematuhi pemiliknya.

5.      Berbicaralah, niscaya kalian akan dikenal karena sesungguhnya seseorang tersembunyi di bawah lidahnya.

6.      Ketenangan seseorang terdapat dalam pemeliharaannya terhadap lidahnya.

7.      Lidahmu menuntutmu apa yang telah engkau biasakan padanya.

8.      Lidah laksana binatang buas, yang jika dilepaskan, niscaya ia akan menggigit.

9.      Jika lidah adalah alat untuk mengekspresikan apa yang muncul dalam pikiran, maka sudah seyogianya engkau tidak menggunakannya dalam hal yang tidak ada dalam pikiran itu.

10.  Perkataan tetap berada dalam belenggumu selama engkau belum mengucapkannya. Jika engkau telah mngucapkan perkataan itu, maka engkaulah yang yang terbelenggu olehnya. Oleh karena itu, simpanlah lidahmu, sebagaimana engkau menyimpan emasmu dan perakmu. Adakalanya perkataan itu mengandung kenikmatan, tetapi ia membawa kepada bencana.

11.  Sedikit sekali lidah berlaku adil kepadamu, baik dalam hal menyebarkan keburukan maupun kebaikan.

12.  Timbanglah perkataanmu dengan perbuatanmu, dan sedikikanlah ia dalam berbicara kecuali dalam kebaikan.

13.  Sesungguhnya adakalanya diam lebih kuat daripada jawaban.

14.  Jika akal telah mencapai kesempurnaan, maka akan berkuranglah pembicaraannya.

15.  Apa yang terlewat darimu karena diammu lebih mudah bagimu untuk mendapatkannya daripada yang terlewat darimu karena perkataanmu.

16.  Sebaik-baik perkataan seseorang adalah apa yang perbuatannya membuktikannya.

17.  Jika ringkas (dalam perkataan) sudah mencukupi, maka memperbanyak (perkataan) menunjukkan ketidakmampuan mengutarakan sesuatu. Dan jika ringkas itu dirasa kurang, maka memperbanyak (perkataan) wajib dilakukan.

18.  Barangsiapa yang banyak bicaranya, maka banyak pula kesalahannya; barangsiapa yang banyak kesalahannya, maka sedikit malunya; barangsiapa yang sedikit malunya, maka sedikit wara’-nya (kehati-hatian dalam beragama)-nya; barangsiapa yang sedikit wara’-nya, maka mati hatinya; dan barangsiapa yang mati hatinya, maka dia akan masuk neraka.

WANITA

1.      Sesungguhnya wanita (sanggup) menyembunyikan cinta selama empat puluh tahun, namun dia tidak (sanggup) menyembunyikan kebencian walaupun hanya sesaat.

2.      Sesungguhnya Allah menciptakan wanita dari kelemahan dan aurat. Maka, obatilah kelemahan mereka dengan diam, dan tutupilah aurat itu dengan menempatkannya di rumah.

3.      Sebaik-baik perangai wanita adalah seburuk-buruk perangai laki-laki, yaitu; angkuh, penakut, kikir. Jika wanita angkuh, dia tidak akan memberi kuasa kepada nafsunya. Jika wanita itu kikir, dia akan menjaga hartanya dan harta suaminya. Dan jika wanita itu penakut, dia akan takut dari segala sesuatu yang menimpanya.

4.      Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, karena mungkin saja kecantikannya akan membinasakannya. Dan jangan pula kalian menikahi wanita karena hartanya, karena mungkin saja hartanya akan menjadikannya bersikap sewenang-wenang. Akan tetapi, nikahilah wanita itu karena agamanya. Sungguh, seorang budak hitam yang putus hidungnya, tetapi kuat agamanya, dia lebih utama.

5.      Aib yang terdapat pada seorang wanita akan terus ada selamanya. Aib ini juga akan menimpa anak-anaknya setelah menimpa ayah mereka.

6.      Kecemburuan seorang wanita adalah kekufuran, sedangkan kecemburuan seorang laki-laki adalah keimanan.

7.      Amma ba’du. Wahai penduduk Irak, sesungguhnya kalian ini seperti wanita yang mengandung. Dia lama mengandung bayinya, ketika telah sempurna kandungannya, dia melahirkan bayinya dalam keadaan mati, lalu meninggal pula suaminya dan dia pun lama menjanda. Kemudian yang mewarisi dirinya adalah orang yang jauh (kekerabatannya) dengannya.

TABIAT MANUSIA


1.      Orang-orang lemah selalu menjadi musuh bagi orang-orang yang kuat, orang-orang bodoh bagi oang-oang bijak, dan orang-orang jahat bagi orang-orang baik. Inilah tabiat (manusia) yang tidak dapat diubah.

2.      Kebiasaan itu kuat. Maka, barangsiapa yang membiasakan sesuatu pada dirinya secara diam-diam dan dalam kesendiriannya, kebiasaan itu pasti akan menyingkapkannya secara terang-terangan dan terbuka.

3.      Kebiasaan adalah tabiat kedua yang menguasai.

4.      Kebiasaan yang buruk adalah persembunyian yang tidak aman.

5.      Dan Allah membagi-bagi makhlukNya menjadi bangsa-bangsa yang berbeda negeri dan kemampuan, tabiat dan bentuk (penampilan). Dia menciptakan makhluk-makhluk dengan penciptaan yang sempurna dan menciptakannya sesuai dengan kehendakNya.

AJAL MANUSIA

1.      Barangsiapa yang panjang umurnya, maka dia akan melihat pada diri musuh-musuhnya sesuatu yang menyenangkannya.

2.      Barangsiapa yang telah genap berusia empat puluh tahun, dikatan kepadanya,” Waspadalah akan datangnya hal yang telah ditakdirkan (kematian) karena sesungguhnya engkau tidak dimaafkan. “ Dan bukanlah orang yang berumur empat puluh tahun itu lebih berhak mendapatkan peringatan daripada orang yang berumur dua puluh tahun. Sebab yang mengejar keduanya sama (satu), dan dia tidak pernah tidur dari yang dikejarnya itu, yaitu kematian. Oleh karena itu, beramallah demi menghadapi situasi yang sangat menakutkan di hadapanmu dan tinggalkanlah perkataan-perkataan yang indah-indah (yang menipu manusia).

3.      Barangsiapa yang telah berumur tujuh puluh tahun, dia akan banyak mengeluh tanpa adanya suatu penyakit.

4.      Cukuplah ajal sebagai penjaga.

Download Ebook Hadits

Download eBook Hadits:
  1. Bulughul Maram.chm
  2. Fathul Bari Jilid 1.pdf
  3. Fathul Bari Jilid 2.pdf
  4. Fathul Bari Jilid 3.pdf
  5. Fathul Bari Jilid 4.pdf
  6. Fathul Bari Jilid 5.pdf
  7. Fathul Bari Jilid 6.pdf
  8. Fathul Bari Jilid 7.pdf
  9. Fathul Bari Jilid 8.pdf
  10. Hadist Web.chm
  11. Hadits-Hadits Dhaif Adabul Mufrad.pdf
  12. Hadits-Hadits Dhaif dalam Riyadhus Shalihin.chm
  13. Riyadhus Shalihin – Imam Nawawi.pdf
  14. Shahih Adabul Mufrad.chm
  15. Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib.pdf
  16. Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 1.djvu
  17. Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 2.djvu
  18. Shahih Sunan Ibnu Majah Jilid 3.djvu
  19. Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 1.djvu
  20. Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 2.djvu
  21. Shahih Sunan At-Tirmidzi Jilid 3.djvu
  22. Silsilah Hadist Shahih Buku 1.pdf
  23. Silsilah Hadist Shahih Buku 2.pdf
  24. Syarahul Arba’iina Hadiitsan An-Nawawiyah.chm
  25. Syarah Shahih Muslim I.pdf
  26. Silsilah Hadist Dha’if Dan Maudhu’ Jilid 1.pdf
  27. Silsilah Hadist Dha’if Dan Maudhu’ Jilid 2 .pdf
  28. Silsilah Hadist Dha’if Dan Maudhu’ Jilid 1 s/d 4.chm
  29. Terjemah Syarah Shahih Muslim Juz I.pdf

Tafsir Ibnu Katsir

List ebook Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 – 18

Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 …..(34,6 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 …..(19,1 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 3 …..(13,1 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 4 …..(15,3 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 5 …..(16,3 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 6 …..(22,8 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 7 …..(18,1 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 8 …..(15,3 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 9 …..(17,4 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 10 …..(5,03 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat At Taubah (Juz 11) …..(10,2 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Yunus (Juz 11) …..(4,82 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Huud (Juz 12) …..(5,34 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Yusuf (Juz 12) …..(5,02 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 13 …..(4,7 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 14 …..(4,16 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Juz 15 …..(7,74 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kahfi (Juz 16) …..(5,04 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Maryam (Juz 16)…..(1,17 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Thoha (Juz 16) …..(3,38 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Anbiyaa (Juz 17) …..(3,91 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Hajj (Juz 17) …..(4,03 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mu’minuun (Juz 18) …..(2,01 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Ahqaaf (Juz 26) …..(2,85 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Muhammad (Juz 26) …..(1,96 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fath (Juz 26) …..(4,06 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Hujurat (Juz 26) …..(2,65 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Qaaf (Juz 26) …….(1,85 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Adz Dzariyat (Juz 27) …..(1,26 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ath Thuur (Juz 27) …..(1,38 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat An Najm (Juz 27) …..(2,71 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat AL Qomar (Juz 27) …..(1,8 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ar Rahman (Juz 27) …..(1,79 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Waqi’ah (Juz 27) …..(2,54 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Hadid (Juz 27) …..(2,41 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mujadilah (Juz 28) …..(4,36 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Hasyr (Juz 28) …..(2,13 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mumtahanah (Juz 28) …..(2,46 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ash Shaf (Juz 28) …..(1,3 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Jumuah (Juz 28) …..(1,02 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Munaafiqun (Juz 28) …..(630 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ath Thoghabun (Juz 28) …..(788 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ath Thalaq (Juz 28) …..(1,37 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat At Tahrim (Juz 28) …..(707 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mulk (Juz 29) …..(1,02 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Qolam (Juz 29) …..(1,29 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat AL Haqqoh (Juz 29) …..(951 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Ma’arij (Juz 29) …..(909 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Nuh (Juz 29) …..(780 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Jin (Juz 29) …..(741 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Muzammil (Juz 29) …..(0,99 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mudatstsir (Juz 29) …..(1,13 MB)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Qiyamah (Juz 29) …..(821 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Insaan (Juz 29) …..(242 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mursalaat (Juz 29) …..(745 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat An Naba (Juz 30) …..(949 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat An Nazi’at (Juz 30) …..(626 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al ‘Abasa (Juz 30) …..(593 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat At Takwir (Juz 30) …..(639 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Muthoffifin (Juz 30) …..(706 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Buruuj (Juz 30) …..(547 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Ath Thoriq (Juz 30) …..(212 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Ghasyiyah (Juz 30) …..(459 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fajr (Juz 30) …..(697 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Asy Syams (Juz 30) …..(458 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Alamnasyrah (Juz 30) …..(225 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat At Tin (Juz 30) …..(179 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al ‘Alaq (Juz 30) …..(293 kb
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Qodr (Juz 30) …..(287 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Bayyinah (Juz 30) …..(177 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Zalzalah (Juz 30) …..(307 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al ‘Adiyat (Juz 30) …..(134 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Qaari’ah (Juz 30) …..(63,1 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al ‘Ashr (Juz 30) …..(63.2 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Humazah (Juz 30) …..(179 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Fill (Juz 30) …..(569 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Quraisy (Juz 30) …..(140 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Maa’uun (Juz 30) …..(311 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kautsar (Juz 30) …..(240 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Kafiruun (Juz 30) …..(189 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat An Nashr (Juz 30) …..(179 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Ikhlash (Juz 30) …..(293 kb)
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Mu’awwidzatain (Juz 30) …..(249 kb)
Sumber: http://shirotholmustaqim.wordpress.com (jazahullah khoiran)

Cari Blog Ini