Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Senin, 15 November 2010

"Itu Baik"


Ini kisah persahabatan dua anak manusia. Yang seorang adalah putra presiden, yang lain pemuda rakyat jelata bernama Irun. Persahabatan ini sudah terjalin sejak mereka masih di bangku sekolah. Irun punya kebiasaan yang kadang menjengkelkan. Apa pun peristiwa yang terjadi di depannya selalu dianggap positif. "Itu Baik" katanya senantiasa.
Hari itu seperti yang sering mereka lakukan, Irun  menemani sahabatnya berburu. Tugasnya membawa senapan dan mengisi peluru agar selalu siap digunakan. Entah kenapa, barangkali belum terkunci secara sempurna, setelah diserahkan kepada sahabatnya senapan itu meletus. Akibatnya cukup fatal. Ibu jari putra presiden terkena terjangan peluru dan putus.

Melihat itu Tanpa sadar dengan kalemnya Irun berkomentar. "Itu Baik" Kontan sahabatnya naik pitam. "Bagaimana Kau ini! Jempolku putus tertembak, malah dibilang Baik. Brengsek..!!" Agaknya, kali ini kelakuan Irun  tak termaafkan. Ia dijebloskan ke penjara.
Beberapa bulan kemudian, sang putra presiden kembali pergi berburu ke Afrika. Malang, ia tersesat di hutan lebat dan ditangkap suku primitif yang masih kanibal. Malam harinya, dalam keadaan terikat ia akan dibakar untuk disantap ramai-ramai. Anehnya, mendadak ia dibebaskan. Belakangan ketahuan, suku tersebut pantang memangsa makhluk yang organ tubuhnya tidak lengkap.
Nasib baik itu membuat sang putra presiden termenung. Ia teringat kembali peristiwa ketika jempolnya putus tertembak lantaran ulah Irun. Ia kemudian menemui Irun di penjara.
"Ternyata Kau benar. Ada baiknya jempolku tertembak," katanya sambil menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya di Afrika. "Aku menyesal telah memenjarakanmu."
"Oh, tidak!' Bagiku, ini Baik!""Bagaimana kau ini? Memenjarakan teman kau bilang baik?""Kalau aku tidak dipenjara, pasti saat itu aku bersamamu."
Kisah satir ini mengingatkan pada pernyataan Randolph Bourne, intelektual Amerika yang juga anak didik John Dewey. Katanya, seorang teman itu memang dipilih untuk kita berdasarkan hukum perasaan yang tersembunyi, bukan oleh kehendak sadar kita si manusia.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini