Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Selasa, 30 November 2010

Ihwal Makrifat(Mengenal Allah)

Makrifat (ma`rifah) berarti mengenal dan mengetahui ber­bagai ilmu (`ulum) ringkas secara terinci. Ilmu nahwu (`ilm an­nahw) adalah mengetahui fungsi kata tugas dalam makna atau pengertian. Makrifat nahwu (ma’rifah an-nahw) adalah menge­tahui dengan rinci segala sesuatu secara baik dan otomatis. De­finisi nahwu (ta rif an-nahw) adalah mengenal dan mengetahui pelaku dengan pendekatan pemikiran. Mengabaikan dan tak memperhatikan hal ini (sekalipun ilmu nahwu) adalah suatu kesalahan besar.
Mengenal Allah (ma`rifatullah) bergantung pada, dan ber­hubungan dengan, mengenal diri sendiri (ma`rifah an-nafs). Mengenal Allah berarti mengenal sifat-sifat Allah dalam ben­tuk keadaan secara terinci, berbagai kejadian, dan musibah. Kemudian, diketahui (secara ringkas) bahwa Dia sajalah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak.
Orang yang menguasai ilmu tauhid (ilm at-tawhid) melihat dalam bentuk (rincian, mimpi, dan keadaan):
a) kehilangan – sang penyebab kehilangan, yakni Allah;
b) keberuntungan – sang penyebab keberuntungan, yakni Allah;
c) larangan – sang penyebab larangan, yakni Allah;
d) anugerah – sang penyebab anugerah, yakni Allah;
e) kesumpekan – sang pe­nyebab kesumpekan, yakni Allah;
f) kelegaan – sang penyebab kelegaan, yakni Allah. Jika is mampu mengetahui semuanya itu, maka orang-orang menyebut dirinya sebagai seorang `arif.
Jika semula la mengabaikan makrifat dan segera menya­dari (keberadaannya) dan, dalam bentuk berbagai kekuatan yang berbeda, mengenal Pelaku Mutlak, maka orang-orang menyebut dirinya sebagai muta`arrif. Jika la sama sekali meng­abaikan, dan (sekalipun la punya ilmu) tidak mengenal Allah dalam bentuk, makna, dan hubungan, dan menjadikan berba­gai akibat perbuatannya sebagai sarana belaka, maka mereka menyebut dirinya sebagai seorang yang lalai (sahi), mengabai­kan (ghafil), main-main (lahi), dan menyekutukan Allah (musy­rik). Umpamanya saja, jika ia menjelaskan keesaan Allah (taw­hid) dan tenggelam di dalamnya – dan yang lain, dengan cara penafian, menolaknya sambil berkata, “Isi pembicaraan ini bukanlah esensi hal, melainkan hasil dari pemikiran dan pertimbangan,” maka la menjadi sedih dan gusar.
la tidak tahu bahwa kesedihannya adalah bukti kebenaran dari ucapan orang yang membantahnya; jika tidak demikian, ia pastilah mengenal Pelaku Mutlak dalam bentuk bantahan ini dan tidak akan marah kepada orang yang membantahnya. Dalam mengenal diri (ma`rifah an-nafs), setiap sifat yang tidak bisa dibuktikan (yang diketahui melalui ilmu ringkas) sewaktu pertama kali muncul dalam nafs, la pun tahu dan bersikap berhati-hati. Dalam hal ini, mereka menyebutnya sebagai seo­rang `arif. Jika tidak demikian, mereka menyebutnya sebagai seorang muta`arrif atau ghafil. Jika la tidak mengetahui ilmu ringkas secara terinci, maka la pun disebut sebagai seorang yang mengabaikan (ghafil). Baginya, ilmu ini justru menjadi sumber kerugian.
Jika la mengetahui bahwa ketakaburan adalah sifat tercela dalam nafs dengan ilmu; dan jika yang demikian ini muncul dalam nafs, ia merendahkan dirinya sehingga mengetahui sifat ini dalam dirinya, maka nafs-nya mungkin tidak lagi dihinggapi keangkuhan lahiriah. Mereka menyebut ini sebagai mengenal diri (ma rifah an-nafs). Bagian untuk sang `arif adalah rela (ridha) dengan berbagai ketentuan Allah; bagian untuk sang muta`arrif adalah sabar bersama Allah; dan bagian untuk sang ghafil adalah kebencian dan kegelisahan.
Mengenal Allah (ma`rifatullah) mempunyai berbagai ting­katan:
a) setiap akibat yang diperolehnya, la mengetahuinya sebagai berasal dari Pelaku Mutlak (yakni, Allah);
b) setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak, la mengetahuinya se­bagai hasil dari sifat tertentu Allah;
c) dalam keagungan setiap sifat-Nya, ia mengetahui maksud dan tujuan Allah;
d) sifat il­mu Allah, la ketahui dalam ma`rifah-nya sendiri; dan menja­uhkan dirinya dari lingkaran ilmu (`’ilm), makrifat (ma`rifah), dan eksistensi.
Makin tinggi tingkat kedekatan seseorang dengan Allah, makin tampak efek-efek keagungan-Nya. Umumnya, ilmu di­peroleh melalui ketidaktahuan. (Maksudnya ialah bahwa ilmu baru bisa diperoleh jika seseorang menyadari ketidaktahuan­nya); makrifat tentang kehalusan meningkat; ketakjuban di atas segala ketakjuban bertambah; sang `arif pun berseru, “Ya Allah, tingkatkan ketakjubanku kepada-Mu.”
Semuanya ini adalah ilmu ihwal makrifat (`ilm al-ma rifah), dan bukan makrifat (ma`rifah) itu sendiri. Sebab, makrifat ada­lah masalah keterpesonaan dan keterpukauan yang penje­lasannya tidak bisa sempurna, tetapi pengantarnya adalah ilmu. Maka, tanpa ilmu, makrifat mustahil terjadi, dan ilmu tanpa makrifat adalah bencana.
Ilmu dan makrifat mempunyai beberapa bentuk:
a) ilmu tentang makrifat (‘ilm al-ma rifah);
b) makrifat tentang ilmu (ma rifah al-`ilm); dan
c) ilmu makrifat tentang makrifat (`ilm ma’rifah al-ma`rifah).
Bentuk terakhir inilah yang paling sem­purna.
Sumber Kitab Awarif Al-Ma’arif

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini