Asysyam

“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensuciikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”

Kamis, 25 November 2010

Cinta

Jika ada suatu istilah yang paling sulit didefinisikan, istilah itu adalah “Cinta”. Saking sulitnya, semua orang mencoba mendefinisikan menurut persepsinya masing-masing. Akibatnya, kalau ada istilah yang paling banyak definisinya, istilah itu tak lain adalah “cinta”. Semua orang terlibat di dalamnya, tidak ada seseorang pun yang merasa tidak pernah memilikinya.
Cinta tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi bisa pula terjadi pada hal-hal yang menurut pendapat sementara orang sangat remeh dan buruk. Karena itu, ada cinta pada kebenaran dan keadilan, ada pula cinta kepada harta, kepada anak-istri, kepada diri sendiri, kepada hawa nafsu, dan kepada….. setan.
Cinta, dalam konteksnya yang mana pun, selalu memiliki indikator tertentu yang dapat dijadikan barometer untuk mengukur tinggi-rendah derajatnya. Di bawah ini dikemukakan ulama pendahulu kita.


Pertama, cinta selalu ditandai dengan ingatan yang selalu terpusat pada sesuatu yang dicintai, sehingga sang pecinta seringkali menyebut-nyebut sesuatu yang dicintainya itu. Sebuah riwayat mengatakan, “ Jika seseorang mencintai sesuatu, dia akan selau menyebut sesuatu yang dicintainya itu. “ Seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan, pasti sering menyebut nama  perempuan yang dicintainya.
Kedua, cinta selalu disertai sikap menyukai apa yang disukai oleh orang yang dicintai dan membenci apa yang dibenci olehnya.  Seorang pria yang mencintai seorang wanita, pasti menyukai apa yang disukai tersebut dan menjauhi apa yang tidak disukainya. Jika sang kekasih menyukai baju berwarna biru maka dia akan sesering mungkin mengenakan warna biru, bahkan jika mungkin akan selalu memakainya kapan dan dimana saja. Sebaliknya, jika sang kekasih tidak menyukai baju merah, dia pasti menjauhi baju merah itu.
Ketiga, cinta selalu disertai rasa rindu. Karena itu, seseorang yang mencintai sesuatu pasti ingin selalu berada didekat sesuatu yang dicintainya. Berpisah barang sehari dua hari, menyebabkan tercekam kerinduan. Jika sudah bertemu, rasanya tak mau berpisah lagi.
Keempat, cinta selalu disertai kecemburuan. Karena itu, seseorang yang mencintai sesuatu pasti bersikap possesif, ingin memiliki sendiri dan tidak sudi jika ada orang lain yang ikut memilikinya. Dia tidak mau diduakan.
Kelima, cinta pasti melahirkan pengabdian dan pengorbanan. Semakin seorang pria mencintai seorang wanita, semakin tinggi pula semangatnya dalam mengabdi dan berkorban. Baginya, tidak ada sesuatu yang terlalu mahal untuk diberikan dan dikorbankan demi orang yang dicintainya.
Sekarang, mari kita renungkan hal-hal berikut.
Sebagai orang mukmin, tidak ada seorang pun di antara kita yang tidak mencintai Allah SWT. Kita semua mencintai Allah dan tahu betul apa risiko bagi yang tidak mencintai-Nya. Tetapi pernahkah kita meneliti kadar cinta kita kepada-Nya? Pernah pulakah kita mengevaluasi indicator-indikatornya?
Jika kita benar-benar mencintai Allah, mari kita ukur kadar cinta kita dengan indikator pertama. Dengan indikator ini, mestinya kita selalu ingat kepada Allah dan tidak pernah melupakan-Nya. Ingat kepada Allah disebut zikir. Semakin kita mencintai Allah, tentunya kita semakin sering berzikir. Tetapi, susahnya, Allah justru sering terlupakan karena sesuatu yang sebenarnya tidak penting; nobrol, nonton tv, atau mendengarkan lau.
Indikator kedua seharusnya menjadikan kita orang-orang yang menyukai apa yang disukai Allah dan menjauhi apa yang dibenci-Nya. Allah menyukai ukhuwwah sesame muslim dan membenci permusuhan. Allah menyukai sikap membantu anak yatim dan fakir-miskin dan membenci sifat kikir. Lalu, kalau kita selalu bermusuhan, saling menjegal dan menelikung, tidakkah itu berarti membenci apa yang disukai Allah dan mencintai apa yang dibenci-Nya?
Indikator ketiga adalah rindu. Jika indicator ini ada pada diri kita, tentunya kita selalu ingin bertemu Allah, ingin selalu berada di samping-Nya. Terus-menerus bercengkrama dengan-Nya, dan tidak mau meninggalkan-Nya sesaat pun. Allah sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang mukmin. Untuk itu dia menyediakan Diri untuk ditemui, minimal lima kali dalam sehari-semalam. Jika masih kurang, ada kesempatan lain yang disebut dengan shalat rawatib, shalat nafilah dan shalat sunat mutlak. Artinya, kapan saja, Allah bersedia ditemui. Persoalannya adalah, sudahkah kecintaan Allah itu kita balas dengan cinta yang sepadan? Untuk sepadan, memang tidak mungkin. Tetapi, setidaknya, lima kali dalam sehari-semalam itu harus dipertahankan dan bersegera dalam melakukannya. Bukankah ingin segera bertemu dengan orang yang dicintai, juga merupakan tanda cinta yang lain.
Cemburu, adalah indicator keempat. Jika kita mencintai Allah maka Allah pun mencintai kita. Ketika Allah Mencita seorang mukmin, tingkat kecemburuan-Nya sungguh luar biasa, Dia tidak mau diduakan. Dia ingin agar kita hanya mencintai-Nya, dan tidak mencintai apa pun selain Diri-Nya. Begitu besarnya kecemburuan Allah kepada orang mukmin, sampai-sampai sikap menduakan Diri-Nya dikatakan-Nya sebagai syirik, lalu Dia mengatakan pada kita,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan  Dia mengampuni dosa selain syirik…”(QS. An Nisa 4 : 48).

Duhai, alangkah indahnya cinta Allah kepada kita. Lantas, sudah terbalaskah cinta Allah itu? Tidakkah yang kita lakukan selama ini adalah “membalas air susu dengan air tuba?” Tidakkah selama ini kita menduakan Allah dengan benda-benda yang kita cintai? Dengan diri kita? Dengan sesame manusia?
Indikator kelima adalah pengabdian dan pengorbanan. Indikator ini semestinya membuat kita menjadi pengabdi-pengabdi Allah. Pengabdi adalah “hamba” dan hamba adala ‘abd. Karena itu, Allah menyebut kita ‘abdullah (hamba-hamba Allah). Menjadi hamba Allah tidaklah sama dengan menjadi hamba sesama manusia. Jika kita menjadi hamba Allah, Allah akan memenuhi kebutuhan kita, menyayangi, melindungi kita. Karena itu, orang-orang yang benar-benar mengabdi kepada Allah, pasti tidak pernah merasa takut dan sedih. “La Khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun…”

Yang tak dapat dipisahkan dari itu adalah kesediaan berkorban. Para pahlawan kita adalah orang-orang yang sangat mencinta bangsa dan negeri ini. Karena itu mereka rela mengorbankan jiwa dan raga mereka. Tidak ada yang terlalu mahal bagi mereka untuk dikorbankan demi bangsa dan Negara. Karena cinta kepada Allah pulalah, salah seorang sahabat Rasulullah dengan ringan hati menghambur ke medan perang, padahal sebagai penganting baru dia belum sempat mandi. Dia gugur di medan perang dalam keadaan belum mandi wajib. Kata Nabi SAW., Para malaikatlah yang memandikannya”. Karena itu, dalam kitab-kitab hadis, sahabat Nab yang satu ini dijuluki Ghasil Al Malaikat (orang yang dimandikan para malaikat).
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah orang-orang yang sangat mencintai Allah. Bagi keduanya, mengorbankan anak dan nyawa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kewajiban mencintai Allah. Subhanallah.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini